KARYA
ILIMIAH PENDIDIKAN KI HAJAR DEWANTARA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Pendidikan
merupakan salah satu hal yang paling penting dalam perkembangan anak didik yang
diharapkan menjadi manusia Indonesia seutuhnnya sesuai dengan tujuan pendidikan
Indonesia yang nantinya akan menentukan pembangunan bangsa ini. Namun untuk
membangun Indonesia tidak hanya dibutuhkan kecerdasan intelektual saja tetapi
juga dibutuhkan keseimbangan semua aspek. Salah satu sistem pendidikan yang
menyeimbangkan semua aspek adalah dengan mengintegrasikan ajaran Ki Hajar
Dewantara ke dalam proses belajar mengajar.
Berbicara
tentang Ki Hajar Dewantara yang di sebutkan sebagai bapak pendidikan itu kali
ini kami akan mengupas tentang perjalanan Ki Hajar Dewantara dan Hari Pendidikanx Nasional nya Apa, Mengapa, Dan
Bagaimana Pendidikan Nasional Dipandangan Ki Hajar Dewantara.
Rumusan Masalah:
Riwayat Ki Hajar
Dewantar
Siapa tokoh pelopor
pendidikan bangsa ini
Karya-karya bapak Ki
Hajar Dewantara
Bagaimana arti
pendidikan
Bagaimana arti penting
nya pendidikan
Tujuan:
Bagi penulis
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen dalam mata kuliah Bahasa
Indonesia. Selain itu, bagi diri kami pribadi makalah ini juga diharapkan bisa
digunakan untuk menambah pengetahuan yang lebih bagi mahasiswa tentang arti
pendidikan.
Bagi pembaca
Makalah ini di
maksudkan untuk membahas pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dan untuk
menambah ilmu pengetahuan mengenai pendidikan yang ada di Indonesia. Untuk para pembaca bisa digunakan untuk langkah menuju ke pengetahuan yang
lebih luas, sehingga kedepannya tercipta sdm-sdm yang unggul.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Riwayat Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2
Mei 1889. Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal
dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat,
saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi
Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar
kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat
dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. Perjalanan hidupnya
benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia
menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut
ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit.
Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain
Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja
Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal.
Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu
membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan
muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia
aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah
kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan
kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja
Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij
(partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25
Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan
organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial
Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg
berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada
tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini
dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan
untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya
pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite
Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan
dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite
Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud
merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan
menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan
itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was
(Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een
(Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku
Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker
itu antara lain berbunyi:
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan dana perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto
Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka
pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda
menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada
pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes
Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa
memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan
ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang
dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya
merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932.
Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian
dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan
perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis.
Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan
berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui
tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional
bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan
Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu
Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki
Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs.
Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar
Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang
tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya
2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai
Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun
1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar
Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. Dua tahun
setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada
tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian oleh pihak penerus
perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta,
untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam
museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri
Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa.
Koleksi museum yang berupa
karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat
semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai
seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan
Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).
Ki hajar Dewantara adalah tokoh yang
punya dedikasi tinggi yang suka membawa spirit kerakyatan. Dia tidak mau
menjaga jarak dengan rakyat kecil, meski dia sendiri adalah keturuan dari kaum
bangsawan. Bahkan untuk menghilangkan sekat pergaulannya, dia menanggalkan nama
ningratnya, Raden mas Suwardi Suryaningrat.
Sikap pedulinya pada golongan jelata
juga diwujudkan dalam bentuk yang nyata pula. Bersama dengan teman-temannya
yang lain dia mendirikan perguruan nasional Taman Siswa dengan tujuan untuk
memberi pendidikan pada masyarakat agar mereka mampu membuat karya sendiri. Ini
adalah merupakan langkah awal untuk suatu cita-cita yang lebih tinggi, yaitu
merdeka dari penindasan (penjajahan). Pendidikan utama yang diajarkan oleh Ki
hajar Dewantara adalah menjadikan manusia yang cerdas dan punya manfaat bagi
diri sendiri dan orang lain.
2.2 Siapakah
tokoh pelopor pendidikan di bangsa ini
Pejuang gigih, politisi handal, guru
besar bangsa, pendiri Taman Siswa, memang sudah diakui oleh sejarah. Tapi
sebagai pribadi yang keras tapi lembut, ayah yang demokratis, sosoknya yang
sederhana, penggemar barang bekas, belum banyak orang tahu. Bahkan bagaimana
tiba-tiba dia dipanggil dengan nama Ki Hajar Dewantara juga belum banyak yang
tahu.
Tokoh peletak dasar pendidikan
nasional ini terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, dilahirkan
di Yogyakarta pada hari Kamis, tanggal 2 Mei 1889. Ia berasal dari lingkungan
keluarga kraton Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar ELS
(sekolah dasar Belanda) dan setelah lulus, ia meneruskan ke STOVIA (sekolah
kedokteran Bumi putera) di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai. Kemudian
bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express,
Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
Ia tergolong penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan
patriotik serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain menjadi seorang wartawan muda
R.M. Soewardi juga aktif dalam organisasi sosial dan politik, ini terbukti di
tahun 1908 dia aktif di Boedi Oetama dan mendapat tugas yang cukup menantang di
seksi propaganda. Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk mensosialisasikan
dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya
kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Setelah itu pada tanggal 25 Desember
1912 dia mendirikan Indische Partij yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka,
organisasi ini didirikan bersama dengan dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada
pemerintahan kolonial Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913, yang dikeluarkan
oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negara
jajahan. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap oleh
penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak
dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda !
Keras tapi Tidak Kasar. Inilah ciri
khas kepribadian Ki Hajar yang diakui rekan-rekan sejawatnya. Kras maar nooit grof, keras namun
tidak pernah kasar. Kesetiaan pada sikapnya ini terlihat jelas pada setiap
kiprahnya.
Ketika partainya, Partai Hindia atau
Indische Partij (IP) dibredel pemerintah Belanda (1912), dia tidak putus asa.
Kritik pedas kepada penjajah juga dilancarkan lewat artikelnya dalam de Express
November 1913, berjudul Als ik eens Nederlander was (Seandainya saya
orang Belanda). Dengan sindiran tajam, tulisan itu menyatakan rasa malunya
merayakan hari kemerdekaan negerinya dengan memungut uang dari rakyat Hindia
yang terjajah. Soewardi bahkan mengirim telegram kepada Ratu Belanda berisi
usulan untuk mencabut pasal 11 RR (Regerings Reglement – UU Pemerintahan Negeri
Jajahan) yang melarang organisasi politik di Hindia-Belanda. Karuan saja,
akibat tulisan itu Ki Hajar dibuang ke Belanda pada Oktober 1914. Padahal dia
baru saja mempersunting R.A. Sutartinah. Jadi, terpaksa dia harus berbulan madu
di pengasingan.
Dalam masa pembuangan itu tidak dia
sia-siakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga berhasil
memperoleh Europesche Akte. Setelah kembali ke tanah air di tahun 1918, ia
mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan
meraih kemerdekaan. Diwujudnyatakan bersama rekan-rekan seperjuangan dengan
mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau lebih dikenal
dengan Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922, sebuah perguruan yang
bercorak nasional.
Perguruan nasional Taman Siswa
mencoba memadukan model pendidikan barat dengan budaya-budaya negeri sendiri.
Namun, kurikulum pemerintah Hindia Belanda tidak diajarkan, karena garis
perjuangan Ki Hajar bersifat non-kooperasi terhadap pemerintah kolonial.
Sifatnya mandiri.
Tak hanya dalam bersikap, secara
fisikpun Ki Hajar memiliki keberanian yang mencengangkan. Ini terkuak dalam
peristiwa rapat umum di Lapangan Ikada (sekarang Monas), 19 September 1945.
Saat itu pemerintah R.I. menghadapi tantangan, apakah presiden dan jajaran
kabinetnya berani menembus kepungan senjata tentara Jepang di sekeliling
lapangan. Sebagian menuntut Presiden, Wapres, dan segenap anggota kabinet hadir
di Lapangan Ikada agar tidak mengecewakan rakyat. Yang lain menolaknya denga n
pertimbangan keselamatan.
Akhirnya, semua sepakat untuk hadir.
Tapi, siapa menteri yang harus membuka jalan memasuki Lapangan Ikada, sebelum
rombongan presiden. Karena ada kemungkinan Jepang membantai rombongan menteri
yang pertama masuk Ikada untuk mencegah keberhasilan Pemerintah RI menyatakan
eksistensinya kepada rakyat dan dunia internasional. Pada saat kritis inilah
sebagai Menteri Pengajaran Ki Hajar unjuk keberanian. Bersama Menlu Mr. Achmad
Subarjo, Mensos Mr. Iwa Kusuma Sumantri, ia menyediakan tubuhnya menjadi
tameng. Padahal bapak enam anak itu bisa dibilang tak lagi muda. Ketika
diingatkan oleh Sesneg Abdul Gafur Pringgodigdo, “Ingat, Ki Hajar ‘kan sudah
tua.” “Justru karena itulah, mati pun tidak mengapa,” jawab Ki Hajar enteng.
Sebagai Bapak Pendidikan Nasional
Indonesia dan pendiri Tamansiswa, Ki Hajar memang tidak sendirian berjuang
menanamkan jiwa merdeka bagi rakyat melalui bidang pendidikan. Namun telah
diakui dunia bahwa kecerdasan, keteladanan dan kepemimpinannya telah
menghantarkan dia sebagai seorang yang berhasil meletakkan dasar pendidikan
nasional Indonesia. Ki Hajar bukan saja seorang tokoh dan pahlawan pendidikan
ini tanggal kelahirannya 2 Mei oleh bangsa Indonesia dijadikan hari Pendidikan
Nasional, selain itu melalui surat keputusan Presiden RI no. 395 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959 Ki Hajar ditetapkan sebagai pahlawan Pergerakan
Nasional. Penghargaan lainnya yang diterima oleh Ki Hajar Dewantara adalah
gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada di tahun 1957.
Orang seringkali lupa, semboyan
tutwuri handayani adalah bagian dari kesatuan yang lengkapnya berbunyi, ing
ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Di depan
memberi teladan, di tengah menghidupkan gairah, di belakang memberi pengarahan.
Mungkin, peristiwa di atas sekaligus bisa memberi jawaban, apakah yang harus
dilakukan oleh seorang pemimpin kalau anak buahnya terancam bahaya.
Masalah pendidikan memang rumit.
Terlebih lagi jika anggaran dananya juga sedikit. Program pendidikan yang
dicita-citakan bangsa ini begitu besar, namun kesadaran pendidikannya masih
sering tercium aroma komersial. Akibatnya, nilai-nilai pendidikan tergeser
begitu jauh dari pusarannya.
“ Saya mempunyai keyakinan, Saudara
Ketua, bahwa seandainya bangsa kita tidak keputusan naluri atau tradisi, tidak
kehilangan “garis kontinu” dengan zaman yang lampau, maka sistem pendidikan dan
pengajaran di negeri kita… pasti akan mempunyai bentuk serta isi dan irama, yang
lain daripada yang kita lihat sekarang… “ (Ki Hadjar Dewantara).
Tulisan di atas adalah pendapat Ki
Hadjar Dewantara yang disampaikan dalam Pidato Penerimaan Gelar Doktor Honoris
Causa dari Universitas Gadjah Mada pada 7 November 1956. Tulisan ini secara
jelas memperlihatkan refleksi Ki Hadjar Dewantara tentang keadaan bangsa
Indonesia yang mengalami distorsi atau penyimpangan jalannya sejarah peradaban
pada masa silam selama 350-an tahun sebagai akibat penjajahan Belanda. Situasi
penjajahan ini membawa akibat terputusnya tradisi dan budaya, termasuk di
dalamnya sistem pendidikan bangsa Indonesia. Akibatnya, bangsa Indonesia sangat
lama mengalami kevakuman dan “terpaksa” harus berkiblat ke Barat dalam bentuk,
isi, dan irama sistem pendidikan dan pengajaran. Seandainya tidak ada
penjajahan, bangsa Indonesia pasti akan mempunyai sistem pendidikan yang
bentuk, isi, dan iramanya lain.
Ki Hadjar Dewantara melihat bahwa
pendidikan ala Belanda yang muncul sebagai Ethische Politiek pada
permulaan abad ke-20 tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia karena
hanya mementingkan aspek intelektual, individual, material, dan kepentingan
kolonial serta tidak mengandung cita-cita kebudayaan nasional. Sistem
pendidikan yang berkembang sesudah era itu masih memperlihatkan pengaruh yang
kuat sistem pendidikan ala Belanda.
Padahal
dalam tradisi bangsa Indonesia, menurut Ki Hadjar, kita mengenal istilah
pendidik seperti pujangga, dalang, dwidjawara, hadjar, pendita, wiku,
begawan, wali, kyai, dan juga istilah anak didik seperti mentrik,
sontrang, dahyang, cantrik, dan santri. Ini menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia telah memiliki sejarah pendidikan yang panjang, yang berakar dari
budaya bangsa sendiri, namun terputus karena penjajahan Belanda yang
berlangsung selama 350 tahun.
Masa penjajahan Belanda adalah masa
terdistorsinya tradisi, budaya, dan pendidikan bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia yang pernah mengalami masa kejayaan dalam berbagai ilmu, misalnya ketatanegaraan,
sastra, budaya, teknologi, pelayaran, pertanian, seperti yang terlhat pada
masa Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur (abad IV), Kerajaan Tarumanegara di
Jawa Barat (abad V), Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah (abad VI), Kerajaan
Sriwijaya di Sumatra (abad VII), dan Kerajaan Majapahit (abad XIV); mengalami
masa-masa pembodohan, pemiskinan, dan pengkerdilan sebagai bangsa terjajah pada
era sesudahnya. Berbagai ilmu khas yang ada di Nusantara banyak yang diambil
dan dipelajari oleh kaum penjajah sehingga di Belanda berkembang apa yang
disebut Indology, yakni studi tentang budaya, bahasa, dan kesusasteraan
nusantara. Sementara itu, bangsa Indonesia sebagai kaum terjajah selama
beberapa generasi mengalami titik nadir dalam berbagai aspek itu. Faktanya
adalah tidak ada upaya untuk mengembangkan pendidikan. Kalau akhirnya ada,
itupun terbatas bagi kalangan priyayi dan tidak untuk rakyat kebanyakan atau
demi memenuhi kebutuhan pemerintahan kolonial di bumi nusantara pada waktu itu.
Menyambung Benang Merah
Masa generasi yang hilang pernah
dialami bangsa Indonesia. Masa sulit itu terjadi pada waktu Kerajaan Mataram di
era pasca Sultan Agung hingga era Kebangkitan Nasional. Dalam kurun waktu
selama itu, bangsa Indonesia mengalami penetrasi dalam segala hal, seperti
politik, ekonomi, sosial, dan budaya oleh Veerenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC) dan pemerintah Hindia Belanda. Masa-masa itu terjadi pembodohan,
pemiskinan, dan pengkerdilan yang luar biasa yang mengakibatkan hilangnya
harkat dan martabat sebagai bangsa besar.
Banyak upaya fisik dan
non-fisik yang telah dilakukan oleh putera-puteri terbaik bangsa mulai dari
perlawanan Sultan Agung, Amangkurat, Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyawa,
Pangeran Mangkubumi, Pattimura, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, RA Kartini,
dan sebagainya, hingga perlawanan dengan jalur politik seperti Indische
Partij, Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam (SDI), serta perlawanan melalui
jalur pendidikan dengan munculnya sekolah keagamaan dan kebangsaan seperti
Perguruan Nasional Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut.
Adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat
atau Ki Hadjar Dewantara, putera dari Pakualaman Yogyakarta, yang secara intens
berupaya menyambung kembali garis tradisi bangsa Indonesia yang terputus dengan
kejayaan masa lampau melalui jalur pendidikan. Ki Hadjar dengan perguruan Taman
Siswa, yang didirikannya pada tahun 1922, berupaya meletakkan dasar-dasar
kebudayaan bangsa dan semangat kebangsaan di dalam gerakan pendidikan yang
dilakukan di Jawa, Sumatra, Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku. Semua
itu didedikasikan untuk memulihkan harkat dan martabat bangsa dan menghilangkan
kebodohan, kekerdilan, dan feodalisme sebagai akibat nyata dari penjajahan.
Dalam hal ini, Ki Hadjar Dewantara adalah salah satu di antara sekian
putera-puteri terbaik bangsa Indonesia yang telah berupaya menyambung benang
merah peradaban bangsa Indonesia yang sempat terputus sekian lama.
Beberapa Butir Pemikiran Ki Hadjar
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara
tentang pendidikan memberikan harapan baru untuk kemajuan bangsa Indonesia,
bukan hanya pada masa awal kemerdekaan, masa kemerdekaan, dan masa pasca
kemerdekaan; tetapi juga ketika bangsa ini mengalami carut-marut pendidikan
pada masa reformasi dan globalisasi.
Pertama, Ki Hadjar Dewantara melihat pendidikan dengan
perspektif antropologis, yaitu bagaimana warga masyarakat meneruskan warisan
budaya kepada generasi berikutnya dan mempertahankan tatanan sosial. Tentang
hal ini Ki Hadjar menyatakan bahwa “pendidikan adalah tempat persemaian segala
benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan”. Dengan
demikian, segala unsur peradaban dan kebudayaan tadi dapat tumbuh dengan
sebaik-baiknya dan dapat diteruskan kepada anak cucu yang akan datang.
Ki Hadjar Dewantara bukanlah seorang
yang terjebak dalam romantisme kejayaan masa lalu yang hanya memikirkan
pewarisan budaya melalui pendidikan. Kalaupun aspek ini ditekankan oleh Ki
Hadjar, penyebabnya adalah anak-anak bangsa ini pernah mengalami dan merasakan
sebagai generasi yang hilang. Ki Hadjar memandang penting pewarisan budaya ini
sebagai cara menyambung kembali peradaban bangsa yang pernah terdistorsi.
Ki Hadjar juga nemikirkan kemajuan
budaya bangsa yang harus selalu bertumbuh. Menurut Ki Hadjar, pendidikan
merupakan proses akulturasi, dalam oengertian, masyarakat tidak hanya menyerap
warisan budaya tetapi juga memadu-kan berbagai unsur budaya tanpa menghancurkan
unsur inti atau tema utama kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan
nasional (Cultureel Nationalisme). Ki Hadjar Dewantara (1964:19)
memunculkan Asas Tri-Kon, bahwa pertukaran kebudayaan dengan dunia luar
harus dilakukan secara Kontinuitet dengan alam kebudayaannya sendiri,
lalu Konvergensi dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang ada, dan
akhirnya, jika sudah bersatu dalam alam universal, bersama-sama mewujudkan
persatuan dunia dan manusia yang Konsentris. Konsentris berarti bertitik
pusat satu dengan alam-alam kebudayaan sedunia, tetapi masih tetap memiliki
garis lingkaran sendiri-sendiri. Inilah suatu bentuk dari sifat Bhinneka
Tunggal Ika.
Ki Hadjar Dewantara sangat arif
dalam menyikapi pengaruh budaya Barat, dia menganjurkan untuk bersikap selektif
terhadap unsur budaya Barat. Dia menyadari bahwa dia pernah mengenyam
pendidikan Barat, baik ketika di ELS (Sekolah Dasar untuk orang Eropa) maupun
ketika mengalami masa pembuangan di Belanda bersama dua sahabat karibnya, Dr.
Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo. Bahkan menurut kesaksian
Bambang Sukawati Dewantara, dalam bukunya yang berjudul “Mereka yang Selalu
Hidup: Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara”, dituliskan bahwa Ki
Hadjar Dewantara, yang pada waktu itu bernama Raden Mas Suwardi Suryaningrat,
sangat senang ketika mendengar kabar dari ayahnya, Suryaningrat, bahwa dia
diperbolehkan masuk ELS atas ijin dari Meester Abendanon.
Kedua, Ki Hadjar Dewantara memiliki pemikiran bahwa
pendidikan nasional harus berdasarkan pada garis hidup bangsanya dan ditujukan
untuk keperluan peri kehidupan, yang dapat mengangkat derajat negeri dan
rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukan dan pantas bekerjasama dengan lain-lain
bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia. Pemikiran ini
menunjukkan bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah seorang yang sangat menghargai
pluralisme atau kemajemukan. Dia juga seorang yang berpikiran futuristik.
Sistem pendidikan nasional yang
digagas Ki Hadjar Dewantara 50-an tahun yang lalu adalah sistem pendidikan yang
tanggap dan mampu menjawab tatanan dunia yang mengglobal, yang dipacu oleh
proses pemisahan waktu dari ruang. Pembebasan waktu dan ruang yang oleh Giddens
(1990) dan Sastrapratedja (2001) disebut sebagai disembedding merupakan
faktor dari proses modernisasi dan membawa implikasi pada universalisasi yang
memungkinkan jaringan global berbagai hubungan antarbangsa melintasi ruang dan
waktu. Apa yang terjadi pada masa sekarang ini tampaknya sudah diprediksikan
oleh Ki Hadjar Dewantara sehingga dalam konsep pendidikan nasional yang
digagasnya diusulkan asas Tri-Kon, yakni kontinuitet, konvergensi,
dan konsentris. Asas ini dimaksudkan sebagai cara untuk mengubah
paradigma dan pola berpikir dalam menyikapi kemajemukan budaya nasional maupun
internasional melalui pendidikan dan pengajaran. Wawasan kemajemukan ini
membuka peluang bagi berkembangnya sikap toleran, inklusivisme, dan
non-sektarianisme yang merupakan wujud konkret dari Bhinneka Tunggal Ika.
Ketiga, Ki Hadjar Dewantara juga memandang penting pendidikan
budi pekerti. Menurut dia, pendidikan ala Barat yang hanya berorientasi pada
segi intelektualisme, individualisme, dan materialisme tidak sepenuhnya sesuai
dengan corak budaya dan kebutuhan bangsa Indonesia. Warisan nilai-nilai luhur
budaya dan religiusitas bangsa Indonesia yang masih dihidupi dan dijadikan
pedoman hidup keluarga-keluarga di masyarakat Indonesia harus dikembangkan
dalam dunia pendidikan. Nilai-nilai luhur tersebut memperlihatkan kearifan budi
pekerti yang memperlihatkan harkat dan martabat bangsa.
Pendidikan dalam konteks pemikiran
Ki Hadjar tidak cukup hanya membuat anak menjadi pintar atau unggul dalam aspek
kognitifnya. Pendidikan haruslah mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki
anak seperti daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa
(konatif). Pendidikan juga harus mampu mengembangkan anak menjadi mandiri dan
sekaligus memiliki rasa kepedulian terhadap orang lain, bangsa, dan
kemanusiaan. Dengan demikian, pendidikan akan mampu membawa anak menjadi
seorang yang humanis dan lebih berbudaya.
Sebagai suatu bangsa, Indonesia
memiliki sejarah yang sangat tua, bahkan lebih tua dari bangsa adi daya seperti
Amerika dan Australia. Peradaban bangsa Indonesia telah mulai bertumbuh
semenjak pada Abad ke-4 sesudah Masehi. Bangsa Indonesia dalam perspektif
historis pernah mengalami distorsi peradaban selama 350 tahun akibat penjajahan
Belanda sehingga mengalami kemunduran dalam berbagai segi.
Ki Hadjar Dewantara atau Raden Mas
Suwardi Suryaningrat, putra dari Pangeran Suryaningrat, cucu dari KGPAA Paku
Alam III, adalah satu di antara putera terbaik bangsa yang berupaya menjalin
dan menyambung kembali peradaban bangsa Indonesia melalui gerakan pendidikan
dengan Perguruan Nasional Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut.
Ki Hadjar Dewantara melalui
pemikiran-pemikirannya, meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang
bercirikan kebangsaan dan kebudayaan nasional. Dia berupaya membangun kembali
kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bermartabat, dan
berperadaban tinggi setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dialah Bapak
Pendidikan Nasional yang pemikiran-pemikirannya patut dipertimbangkan kembali untuk
mengatasi carut-marut pendidikan nasional pada era reformasi dan globaklisasi
sekarang ini.
2.3
Karya-karya Ki Hajar Dewantara
Karya
Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang menjadi representasi
institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis sampai hari
ini. Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan
dan kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan oleh Majelis
Luhur Persatuan Taman Siswa dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian I
Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II: Kebudayaan (1967).
Kepiawaian dalam menulis karena beliau sejak muda menjadi penulis dan wartawan.
Ketiga, Buku Bagian I Pendidikan terbagi dalam 8 bab: pendidikan nasional,
politik pendidikan, pendidikan kanak-kanak, pendidikan kesenian, pendidikan
keluarga, ilmu jiwa, ilmu adab, dan bahasa. Tulisan tertua dalam buku ini yakni
’’Pendidikan dan Pengajaran Nasional’’ yang disampaikan sebagai prasaran dalam
Kongres Permufakatan Pergerakan Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 31 Agustus
1928. Ki Hadjar Dewantara dalam tulisan itu mengatakan bahwa kemerdekaan dalam
dunia pendidikan memiliki tiga sifat: berdiri sendiri, tidak tergantung pada
orang lain, dapat mengatur diri sendiri. Buku Bagian II Kebudayaan terbagai
dalam 5 bab: kebudayaan umum, kebudayaan
dan pendidikan/kesenian, kebudayaan dan kewanitaan, kebudayaan dan masyarakat,
hubungan dan penghargaan kita. Dua buku itu adalah representasi pemikiran dan
pembuktian dalam praktik pendidikan dan pengajaran dari Ki Hadjar Dewantara.
Pendidikan dan kebudayaan adalah basis kehidupan yang menentukan kualitas
manusia dan bangsa.
2.4 Arti
Pendidikan
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat.
2.5 Penting
nya pendidikan
Sebagaimana
yang diungkapkan Daoed Joesoef tentang pentingnya suatu pendidikan :
“Pendidikan merupakan segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina
hidup yang baik, yang sesuai dengan martabat manusia” Dan tentulah dari
pernyataan tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Pendidikan merupakan
hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan, maka dari itu saya
bisa membantah kata-kata “Pendidikan bukanlah segalanya” seperti apa yang
Kepala Sekolah saya sendiri katakan.
Menjadi bangsa yang maju tentu
merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap negara di dunia. Sudah
menjadi suatu rahasia umum bahwa maju atau tidaknya suatu negara di pengaruhi
oleh faktor pendidikan. Begitu pentingnya pendidikan, sehingga suatu bangsa
dapat diukur apakah bangsa itu maju atau mundur, karna seperti yang kita
ketahui bahwa suatu Pendidikan tentunya akan mencetak Sumber Daya Manusia yang
berkualitas baik dari segi spritual, intelegensi dan skill dan pendidikan
merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa.
Apabila output dari proses
pendidikan ini gagal maka sulit dibayangkan bagaimana dapat mencapai kemajuan.
Bagi suatu bangsa yang ingin maju, pendidik harus dipandang sebagai sebuah
kebutuhan sama halnya dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Maka tentunya
peningkatan mutu pendidikan juga berpengaruh terhadap perkembangan suatu
bangsa. Kita ambil contoh Amerika, mereka takkan bisa jadi seperti sekarang ini
apabila pendidikan mereka setarap dengan kita. Lalu bagaimana dengan Jepang? si
ahli Teknologi itu? Jepang sangat menghargai Pendidikan, mereka rela
mengeluarkan dana yang sangat besar hanya untuk pendidikan bukan untuk kampanye
atau hal lain tentang kedudukan seperti yang Indonesia lakukan. Tak ubahnya
negara lain, seperti Malaysia dan Singapura yang menjadi negara tetangga kita.
Mungkin sedikit demi sedikit
Indonesia juga sadar akan pentingnya suatu pendidikan. Hari Pendidikan Nasional
(Hardiknas) yang jatuh pada tanggal 2 Mei 2010 menitikberatkan atau mengambil
tema pendidikan karakter untuk membangun peradaban bangsa dan seperti yang
diberitakan bahwa Kementrian Pendidikan Nasional telah menyediakan
infrastruktur terkait akses informasi bekerja sama dengan MNC Group, melalui TV
berbayarnya, Indovision menyiarkan siaran televisi untuk pendidikan.Dan juga
penyediaan taman bacaan di pusat perbelanjaan. Namun apakah pendidikan karakter
ini bisa mengubah masalah-masalah yang sering kita hadapi dalam dunia
pendidikan?
Didalam UU No.20/2003 tentang sistem
pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan: “pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat,
banga dan negara” Namun satu pertanyaan, sudahkah pendidikan kita seperti yang
tercantum dalam UU tersebut.
Untuk kalangan pelajar sekolah
menengah atas dan mahasiswa tidak asing lagi dengan kata makalah. pastilah anda
sebagai pelajar atau mahasiswa sering sekali di berikan tugas membuat makalah.
jadi saya akan coba berikan contoh makalah pendidikan bagi teman-teman sebagai
panduan membuat makalah agar lebih mudah.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Bangsa ini
perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan
bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya,
adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus
didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Hari lahirnya,
diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut
wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di
tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan
memberi teladan). Pengaruh pemikiran pertama dalam pendidikan adalah dasar
kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila
diterapkan kepada pelaksanaan pengajaran maka hal itu merupakan upaya di dalam
mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka
demi pencapaian tujuannya dan perlunya kemajuan sejati untuk diperoleh dalam
perkembangan kodrati. Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman
Siswa yang menjadi representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial
dan tetap eksis sampai hari ini. Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar
Dewantara dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan
dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dalam buku Karya Ki
Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar Dewantara
Bagian II: Kebudayaan (1967).