Selasa, 20 Januari 2015

KARYA ILIMIAH PENDIDIKAN KI HAJAR DEWANTARA

KARYA ILIMIAH PENDIDIKAN KI HAJAR DEWANTARA

           
                                                            BAB I
                                         PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu hal yang paling penting dalam perkembangan anak didik yang diharapkan menjadi manusia Indonesia seutuhnnya sesuai dengan tujuan pendidikan Indonesia yang nantinya akan menentukan pembangunan bangsa ini. Namun untuk membangun Indonesia tidak hanya dibutuhkan kecerdasan intelektual saja tetapi juga dibutuhkan keseimbangan semua aspek. Salah satu sistem pendidikan yang menyeimbangkan semua aspek adalah dengan mengintegrasikan ajaran Ki Hajar Dewantara ke dalam proses belajar mengajar.
Berbicara tentang Ki Hajar Dewantara yang di sebutkan sebagai bapak pendidikan itu kali ini kami akan mengupas tentang perjalanan Ki Hajar Dewantara  dan Hari PendidikanNasional nya Apa, Mengapa, Dan Bagaimana Pendidikan Nasional Dipandangan Ki Hajar Dewantara.
Rumusan Masalah:
Riwayat Ki Hajar Dewantar
Siapa tokoh pelopor pendidikan bangsa ini
Karya-karya bapak Ki Hajar Dewantara
Bagaimana arti pendidikan
Bagaimana arti penting nya pendidikan
Tujuan:
Bagi penulis
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen dalam mata kuliah Bahasa Indonesia. Selain itu, bagi diri kami pribadi makalah ini juga diharapkan bisa digunakan untuk menambah pengetahuan yang lebih bagi mahasiswa tentang arti pendidikan.
Bagi pembaca
Makalah ini di maksudkan untuk membahas pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dan untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai pendidikan yang ada di Indonesia. Untuk para pembaca bisa digunakan untuk langkah menuju ke pengetahuan yang lebih luas, sehingga kedepannya tercipta sdm-sdm yang unggul.



                                                BAB II
                                              PEMBAHASAN

2.1 Riwayat Ki Hajar Dewantara
            Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan dana perayaan
itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".

           Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda. Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.

Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
            Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
           Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
           Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa.
          Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
           Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).
           Ki hajar Dewantara adalah tokoh yang punya dedikasi tinggi yang suka membawa spirit kerakyatan. Dia tidak mau menjaga jarak dengan rakyat kecil, meski dia sendiri adalah keturuan dari kaum bangsawan. Bahkan untuk menghilangkan sekat pergaulannya, dia menanggalkan nama ningratnya, Raden mas Suwardi Suryaningrat.
Sikap pedulinya pada golongan jelata juga diwujudkan dalam bentuk yang nyata pula. Bersama dengan teman-temannya yang lain dia mendirikan perguruan nasional Taman Siswa dengan tujuan untuk memberi pendidikan pada masyarakat agar mereka mampu membuat karya sendiri. Ini adalah merupakan langkah awal untuk suatu cita-cita yang lebih tinggi, yaitu merdeka dari penindasan (penjajahan). Pendidikan utama yang diajarkan oleh Ki hajar Dewantara adalah menjadikan manusia yang cerdas dan punya manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

2.2 Siapakah tokoh pelopor pendidikan di bangsa ini
Pejuang gigih, politisi handal, guru besar bangsa, pendiri Taman Siswa, memang sudah diakui oleh sejarah. Tapi sebagai pribadi yang keras tapi lembut, ayah yang demokratis, sosoknya yang sederhana, penggemar barang bekas, belum banyak orang tahu. Bahkan bagaimana tiba-tiba dia dipanggil dengan nama Ki Hajar Dewantara juga belum banyak yang tahu.
Tokoh peletak dasar pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis, tanggal 2 Mei 1889. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar ELS (sekolah dasar Belanda) dan setelah lulus, ia meneruskan ke STOVIA (sekolah kedokteran Bumi putera) di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai. Kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain menjadi seorang wartawan muda R.M. Soewardi juga aktif dalam organisasi sosial dan politik, ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi Oetama dan mendapat tugas yang cukup menantang di seksi propaganda. Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.
           Setelah itu pada tanggal 25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan bersama dengan dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada pemerintahan kolonial Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913, yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap oleh penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda !
Keras tapi Tidak Kasar. Inilah ciri khas kepribadian Ki Hajar yang diakui rekan-rekan sejawatnya. Kras maar nooit grof, keras namun tidak pernah kasar. Kesetiaan pada sikapnya ini terlihat jelas pada setiap kiprahnya.
Ketika partainya, Partai Hindia atau Indische Partij (IP) dibredel pemerintah Belanda (1912), dia tidak putus asa. Kritik pedas kepada penjajah juga dilancarkan lewat artikelnya dalam de Express November 1913, berjudul Als ik eens Nederlander was (Seandainya saya orang Belanda). Dengan sindiran tajam, tulisan itu menyatakan rasa malunya merayakan hari kemerdekaan negerinya dengan memungut uang dari rakyat Hindia yang terjajah. Soewardi bahkan mengirim telegram kepada Ratu Belanda berisi usulan untuk mencabut pasal 11 RR (Regerings Reglement – UU Pemerintahan Negeri Jajahan) yang melarang organisasi politik di Hindia-Belanda. Karuan saja, akibat tulisan itu Ki Hajar dibuang ke Belanda pada Oktober 1914. Padahal dia baru saja mempersunting R.A. Sutartinah. Jadi, terpaksa dia harus berbulan madu di pengasingan.
Dalam masa pembuangan itu tidak dia sia-siakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga berhasil memperoleh Europesche Akte. Setelah kembali ke tanah air di tahun 1918, ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Diwujudnyatakan bersama rekan-rekan seperjuangan dengan mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau lebih dikenal dengan Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922, sebuah perguruan yang bercorak nasional.
Perguruan nasional Taman Siswa mencoba memadukan model pendidikan barat dengan budaya-budaya negeri sendiri. Namun, kurikulum pemerintah Hindia Belanda tidak diajarkan, karena garis perjuangan Ki Hajar bersifat non-kooperasi terhadap pemerintah kolonial. Sifatnya mandiri.
Tak hanya dalam bersikap, secara fisikpun Ki Hajar memiliki keberanian yang mencengangkan. Ini terkuak dalam peristiwa rapat umum di Lapangan Ikada (sekarang Monas), 19 September 1945. Saat itu pemerintah R.I. menghadapi tantangan, apakah presiden dan jajaran kabinetnya berani menembus kepungan senjata tentara Jepang di sekeliling lapangan. Sebagian menuntut Presiden, Wapres, dan segenap anggota kabinet hadir di Lapangan Ikada agar tidak mengecewakan rakyat. Yang lain menolaknya denga n pertimbangan keselamatan.
Akhirnya, semua sepakat untuk hadir. Tapi, siapa menteri yang harus membuka jalan memasuki Lapangan Ikada, sebelum rombongan presiden. Karena ada kemungkinan Jepang membantai rombongan menteri yang pertama masuk Ikada untuk mencegah keberhasilan Pemerintah RI menyatakan eksistensinya kepada rakyat dan dunia internasional. Pada saat kritis inilah sebagai Menteri Pengajaran Ki Hajar unjuk keberanian. Bersama Menlu Mr. Achmad Subarjo, Mensos Mr. Iwa Kusuma Sumantri, ia menyediakan tubuhnya menjadi tameng. Padahal bapak enam anak itu bisa dibilang tak lagi muda. Ketika diingatkan oleh Sesneg Abdul Gafur Pringgodigdo, “Ingat, Ki Hajar ‘kan sudah tua.” “Justru karena itulah, mati pun tidak mengapa,” jawab Ki Hajar enteng.
Sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan pendiri Tamansiswa, Ki Hajar memang tidak sendirian berjuang menanamkan jiwa merdeka bagi rakyat melalui bidang pendidikan. Namun telah diakui dunia bahwa kecerdasan, keteladanan dan kepemimpinannya telah menghantarkan dia sebagai seorang yang berhasil meletakkan dasar pendidikan nasional Indonesia. Ki Hajar bukan saja seorang tokoh dan pahlawan pendidikan ini tanggal kelahirannya 2 Mei oleh bangsa Indonesia dijadikan hari Pendidikan Nasional, selain itu melalui surat keputusan Presiden RI no. 395 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959 Ki Hajar ditetapkan sebagai pahlawan Pergerakan Nasional. Penghargaan lainnya yang diterima oleh Ki Hajar Dewantara adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada di tahun 1957.
Orang seringkali lupa, semboyan tutwuri handayani adalah bagian dari kesatuan yang lengkapnya berbunyi, ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Di depan memberi teladan, di tengah menghidupkan gairah, di belakang memberi pengarahan. Mungkin, peristiwa di atas sekaligus bisa memberi jawaban, apakah yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin kalau anak buahnya terancam bahaya.
Masalah pendidikan memang rumit. Terlebih lagi jika anggaran dananya juga sedikit. Program pendidikan yang dicita-citakan bangsa ini begitu besar, namun kesadaran pendidikannya masih sering tercium aroma komersial. Akibatnya, nilai-nilai pendidikan tergeser begitu jauh dari pusarannya.
“ Saya mempunyai keyakinan, Saudara Ketua, bahwa seandainya bangsa kita tidak keputusan naluri atau tradisi, tidak kehilangan “garis kontinu” dengan zaman yang lampau, maka sistem pendidikan dan pengajaran di negeri kita… pasti akan mempunyai bentuk serta isi dan irama, yang lain daripada yang kita lihat sekarang… “ (Ki Hadjar Dewantara).
           Tulisan di atas adalah pendapat Ki Hadjar Dewantara yang disampaikan dalam Pidato Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada pada 7 November 1956. Tulisan ini secara jelas memperlihatkan refleksi Ki Hadjar Dewantara tentang keadaan bangsa Indonesia yang mengalami distorsi atau penyimpangan jalannya sejarah peradaban pada masa silam selama 350-an tahun sebagai akibat penjajahan Belanda. Situasi penjajahan ini membawa akibat terputusnya tradisi dan budaya, termasuk di dalamnya sistem pendidikan bangsa Indonesia. Akibatnya, bangsa Indonesia sangat lama mengalami kevakuman dan “terpaksa” harus berkiblat ke Barat dalam bentuk, isi, dan irama sistem pendidikan dan pengajaran. Seandainya tidak ada penjajahan, bangsa Indonesia pasti akan mempunyai sistem pendidikan yang bentuk, isi, dan iramanya lain.
           Ki Hadjar Dewantara melihat bahwa pendidikan ala Belanda yang muncul sebagai Ethische Politiek pada permulaan abad ke-20 tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia karena hanya mementingkan aspek intelektual, individual, material, dan kepentingan kolonial serta tidak mengandung cita-cita kebudayaan nasional. Sistem pendidikan yang berkembang sesudah era itu masih memperlihatkan pengaruh yang kuat sistem pendidikan ala Belanda.
Padahal dalam tradisi bangsa Indonesia, menurut Ki Hadjar, kita mengenal istilah pendidik seperti pujangga, dalang, dwidjawara, hadjar, pendita, wiku, begawan, wali, kyai, dan juga istilah anak didik seperti mentrik, sontrang, dahyang, cantrik, dan santri. Ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah memiliki sejarah pendidikan yang panjang, yang berakar dari budaya bangsa sendiri, namun terputus karena penjajahan Belanda yang berlangsung selama 350 tahun.
           Masa penjajahan Belanda adalah masa terdistorsinya tradisi, budaya, dan pendidikan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang pernah mengalami masa kejayaan dalam berbagai ilmu, misalnya ketatanegaraan, sastra, budaya, teknologi, pelayaran, pertanian, seperti yang terlhat pada masa Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur (abad IV), Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat (abad V), Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah (abad VI), Kerajaan Sriwijaya di Sumatra (abad VII), dan Kerajaan Majapahit (abad XIV); mengalami masa-masa pembodohan, pemiskinan, dan pengkerdilan sebagai bangsa terjajah pada era sesudahnya. Berbagai ilmu khas yang ada di Nusantara banyak yang diambil dan dipelajari oleh kaum penjajah sehingga di Belanda berkembang apa yang disebut Indology, yakni studi tentang budaya, bahasa, dan kesusasteraan nusantara. Sementara itu, bangsa Indonesia sebagai kaum terjajah selama beberapa generasi mengalami titik nadir dalam berbagai aspek itu. Faktanya adalah tidak ada upaya untuk mengembangkan pendidikan. Kalau akhirnya ada, itupun terbatas bagi kalangan priyayi dan tidak untuk rakyat kebanyakan atau demi memenuhi kebutuhan pemerintahan kolonial di bumi nusantara pada waktu itu.
Menyambung Benang Merah
           Masa generasi yang hilang pernah dialami bangsa Indonesia. Masa sulit itu terjadi pada waktu Kerajaan Mataram di era pasca Sultan Agung hingga era Kebangkitan Nasional. Dalam kurun waktu selama itu, bangsa Indonesia mengalami penetrasi dalam segala hal, seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya oleh Veerenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan pemerintah Hindia Belanda. Masa-masa itu terjadi pembodohan, pemiskinan, dan pengkerdilan yang luar biasa yang mengakibatkan hilangnya harkat dan martabat sebagai bangsa besar.
            Banyak upaya fisik dan non-fisik yang telah dilakukan oleh putera-puteri terbaik bangsa mulai dari perlawanan Sultan Agung, Amangkurat, Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyawa, Pangeran Mangkubumi, Pattimura, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, RA Kartini, dan sebagainya, hingga perlawanan dengan jalur politik seperti Indische Partij, Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam (SDI), serta perlawanan melalui jalur pendidikan dengan munculnya sekolah keagamaan dan kebangsaan seperti Perguruan Nasional Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut.
          Adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara, putera dari Pakualaman Yogyakarta, yang secara intens berupaya menyambung kembali garis tradisi bangsa Indonesia yang terputus dengan kejayaan masa lampau melalui jalur pendidikan. Ki Hadjar dengan perguruan Taman Siswa, yang didirikannya pada tahun 1922, berupaya meletakkan dasar-dasar kebudayaan bangsa dan semangat kebangsaan di dalam gerakan pendidikan yang dilakukan di Jawa, Sumatra, Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku. Semua itu didedikasikan untuk memulihkan harkat dan martabat bangsa dan menghilangkan kebodohan, kekerdilan, dan feodalisme sebagai akibat nyata dari penjajahan. Dalam hal ini, Ki Hadjar Dewantara adalah salah satu di antara sekian putera-puteri terbaik bangsa Indonesia yang telah berupaya menyambung benang merah peradaban bangsa Indonesia yang sempat terputus sekian lama.
Beberapa Butir Pemikiran Ki Hadjar
           Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan memberikan harapan baru untuk kemajuan bangsa Indonesia, bukan hanya pada masa awal kemerdekaan, masa kemerdekaan, dan masa pasca kemerdekaan; tetapi juga ketika bangsa ini mengalami carut-marut pendidikan pada masa reformasi dan globalisasi.
Pertama, Ki Hadjar Dewantara melihat pendidikan dengan perspektif antropologis, yaitu bagaimana warga masyarakat meneruskan warisan budaya kepada generasi berikutnya dan mempertahankan tatanan sosial. Tentang hal ini Ki Hadjar menyatakan bahwa “pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan”. Dengan demikian, segala unsur peradaban dan kebudayaan tadi dapat tumbuh dengan sebaik-baiknya dan dapat diteruskan kepada anak cucu yang akan datang.
Ki Hadjar Dewantara bukanlah seorang yang terjebak dalam romantisme kejayaan masa lalu yang hanya memikirkan pewarisan budaya melalui pendidikan. Kalaupun aspek ini ditekankan oleh Ki Hadjar, penyebabnya adalah anak-anak bangsa ini pernah mengalami dan merasakan sebagai generasi yang hilang. Ki Hadjar memandang penting pewarisan budaya ini sebagai cara menyambung kembali peradaban bangsa yang pernah terdistorsi.
Ki Hadjar juga nemikirkan kemajuan budaya bangsa yang harus selalu bertumbuh. Menurut Ki Hadjar, pendidikan merupakan proses akulturasi, dalam oengertian, masyarakat tidak hanya menyerap warisan budaya tetapi juga memadu-kan berbagai unsur budaya tanpa menghancurkan unsur inti atau tema utama kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan nasional (Cultureel Nationalisme). Ki Hadjar Dewantara (1964:19) memunculkan Asas Tri-Kon, bahwa pertukaran kebudayaan dengan dunia luar harus dilakukan secara Kontinuitet dengan alam kebudayaannya sendiri, lalu Konvergensi dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang ada, dan akhirnya, jika sudah bersatu dalam alam universal, bersama-sama mewujudkan persatuan dunia dan manusia yang Konsentris. Konsentris berarti bertitik pusat satu dengan alam-alam kebudayaan sedunia, tetapi masih tetap memiliki garis lingkaran sendiri-sendiri. Inilah suatu bentuk dari sifat Bhinneka Tunggal Ika.
Ki Hadjar Dewantara sangat arif dalam menyikapi pengaruh budaya Barat, dia menganjurkan untuk bersikap selektif terhadap unsur budaya Barat. Dia menyadari bahwa dia pernah mengenyam pendidikan Barat, baik ketika di ELS (Sekolah Dasar untuk orang Eropa) maupun ketika mengalami masa pembuangan di Belanda bersama dua sahabat karibnya, Dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo. Bahkan menurut kesaksian Bambang Sukawati Dewantara, dalam bukunya yang berjudul “Mereka yang Selalu Hidup: Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara”, dituliskan bahwa Ki Hadjar Dewantara, yang pada waktu itu bernama Raden Mas Suwardi Suryaningrat, sangat senang ketika mendengar kabar dari ayahnya, Suryaningrat, bahwa dia diperbolehkan masuk ELS atas ijin dari Meester Abendanon.
Kedua, Ki Hadjar Dewantara memiliki pemikiran bahwa pendidikan nasional harus berdasarkan pada garis hidup bangsanya dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupan, yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukan dan pantas bekerjasama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia. Pemikiran ini menunjukkan bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah seorang yang sangat menghargai pluralisme atau kemajemukan. Dia juga seorang yang berpikiran futuristik.
Sistem pendidikan nasional yang digagas Ki Hadjar Dewantara 50-an tahun yang lalu adalah sistem pendidikan yang tanggap dan mampu menjawab tatanan dunia yang mengglobal, yang dipacu oleh proses pemisahan waktu dari ruang. Pembebasan waktu dan ruang yang oleh Giddens (1990) dan Sastrapratedja (2001) disebut sebagai disembedding merupakan faktor dari proses modernisasi dan membawa implikasi pada universalisasi yang memungkinkan jaringan global berbagai hubungan antarbangsa melintasi ruang dan waktu. Apa yang terjadi pada masa sekarang ini tampaknya sudah diprediksikan oleh Ki Hadjar Dewantara sehingga dalam konsep pendidikan nasional yang digagasnya diusulkan asas Tri-Kon, yakni kontinuitet, konvergensi, dan konsentris. Asas ini dimaksudkan sebagai cara untuk mengubah paradigma dan pola berpikir dalam menyikapi kemajemukan budaya nasional maupun internasional melalui pendidikan dan pengajaran. Wawasan kemajemukan ini membuka peluang bagi berkembangnya sikap toleran, inklusivisme, dan non-sektarianisme yang merupakan wujud konkret dari Bhinneka Tunggal Ika.
            Ketiga, Ki Hadjar Dewantara juga memandang penting pendidikan budi pekerti. Menurut dia, pendidikan ala Barat yang hanya berorientasi pada segi intelektualisme, individualisme, dan materialisme tidak sepenuhnya sesuai dengan corak budaya dan kebutuhan bangsa Indonesia. Warisan nilai-nilai luhur budaya dan religiusitas bangsa Indonesia yang masih dihidupi dan dijadikan pedoman hidup keluarga-keluarga di masyarakat Indonesia harus dikembangkan dalam dunia pendidikan. Nilai-nilai luhur tersebut memperlihatkan kearifan budi pekerti yang memperlihatkan harkat dan martabat bangsa.
Pendidikan dalam konteks pemikiran Ki Hadjar tidak cukup hanya membuat anak menjadi pintar atau unggul dalam aspek kognitifnya. Pendidikan haruslah mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak seperti daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Pendidikan juga harus mampu mengembangkan anak menjadi mandiri dan sekaligus memiliki rasa kepedulian terhadap orang lain, bangsa, dan kemanusiaan. Dengan demikian, pendidikan akan mampu membawa anak menjadi seorang yang humanis dan lebih berbudaya.
Sebagai suatu bangsa, Indonesia memiliki sejarah yang sangat tua, bahkan lebih tua dari bangsa adi daya seperti Amerika dan Australia. Peradaban bangsa Indonesia telah mulai bertumbuh semenjak pada Abad ke-4 sesudah Masehi. Bangsa Indonesia dalam perspektif historis pernah mengalami distorsi peradaban selama 350 tahun akibat penjajahan Belanda sehingga mengalami kemunduran dalam berbagai segi.
Ki Hadjar Dewantara atau Raden Mas Suwardi Suryaningrat, putra dari Pangeran Suryaningrat, cucu dari KGPAA Paku Alam III, adalah satu di antara putera terbaik bangsa yang berupaya menjalin dan menyambung kembali peradaban bangsa Indonesia melalui gerakan pendidikan dengan Perguruan Nasional Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut.
Ki Hadjar Dewantara melalui pemikiran-pemikirannya, meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang bercirikan kebangsaan dan kebudayaan nasional. Dia berupaya membangun kembali kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bermartabat, dan berperadaban tinggi setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dialah Bapak Pendidikan Nasional yang pemikiran-pemikirannya patut dipertimbangkan kembali untuk mengatasi carut-marut pendidikan nasional pada era reformasi dan globaklisasi sekarang ini.
2.3 Karya-karya Ki Hajar Dewantara
            Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang menjadi representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis sampai hari ini. Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II: Kebudayaan (1967). Kepiawaian dalam menulis karena beliau sejak muda menjadi penulis dan wartawan. Ketiga, Buku Bagian I Pendidikan terbagi dalam 8 bab: pendidikan nasional, politik pendidikan, pendidikan kanak-kanak, pendidikan kesenian, pendidikan keluarga, ilmu jiwa, ilmu adab, dan bahasa. Tulisan tertua dalam buku ini yakni ’’Pendidikan dan Pengajaran Nasional’’ yang disampaikan sebagai prasaran dalam Kongres Permufakatan Pergerakan Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 31 Agustus 1928. Ki Hadjar Dewantara dalam tulisan itu mengatakan bahwa kemerdekaan dalam dunia pendidikan memiliki tiga sifat: berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dapat mengatur diri sendiri. Buku Bagian II Kebudayaan terbagai dalam 5 bab:  kebudayaan umum, kebudayaan dan pendidikan/kesenian, kebudayaan dan kewanitaan, kebudayaan dan masyarakat, hubungan dan penghargaan kita. Dua buku itu adalah representasi pemikiran dan pembuktian dalam praktik pendidikan dan pengajaran dari Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan dan kebudayaan adalah basis kehidupan yang menentukan kualitas manusia dan bangsa.

2.4 Arti Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
2.5 Penting nya pendidikan
      Sebagaimana yang diungkapkan Daoed Joesoef tentang pentingnya suatu pendidikan : “Pendidikan merupakan segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina hidup yang baik, yang sesuai dengan martabat manusia” Dan tentulah dari pernyataan tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan, maka dari itu saya bisa membantah kata-kata “Pendidikan bukanlah segalanya” seperti apa yang Kepala Sekolah saya sendiri katakan.

Menjadi bangsa yang maju tentu merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap negara di dunia. Sudah menjadi suatu rahasia umum bahwa maju atau tidaknya suatu negara di pengaruhi oleh faktor pendidikan. Begitu pentingnya pendidikan, sehingga suatu bangsa dapat diukur apakah bangsa itu maju atau mundur, karna seperti yang kita ketahui bahwa suatu Pendidikan tentunya akan mencetak Sumber Daya Manusia yang berkualitas baik dari segi spritual, intelegensi dan skill dan pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa.

Apabila output dari proses pendidikan ini gagal maka sulit dibayangkan bagaimana dapat mencapai kemajuan. Bagi suatu bangsa yang ingin maju, pendidik harus dipandang sebagai sebuah kebutuhan sama halnya dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Maka tentunya peningkatan mutu pendidikan juga berpengaruh terhadap perkembangan suatu bangsa. Kita ambil contoh Amerika, mereka takkan bisa jadi seperti sekarang ini apabila pendidikan mereka setarap dengan kita. Lalu bagaimana dengan Jepang? si ahli Teknologi itu? Jepang sangat menghargai Pendidikan, mereka rela mengeluarkan dana yang sangat besar hanya untuk pendidikan bukan untuk kampanye atau hal lain tentang kedudukan seperti yang Indonesia lakukan. Tak ubahnya negara lain, seperti Malaysia dan Singapura yang menjadi negara tetangga kita.

Mungkin sedikit demi sedikit Indonesia juga sadar akan pentingnya suatu pendidikan. Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada tanggal 2 Mei 2010 menitikberatkan atau mengambil tema pendidikan karakter untuk membangun peradaban bangsa dan seperti yang diberitakan bahwa Kementrian Pendidikan Nasional telah menyediakan infrastruktur terkait akses informasi bekerja sama dengan MNC Group, melalui TV berbayarnya, Indovision menyiarkan siaran televisi untuk pendidikan.Dan juga penyediaan taman bacaan di pusat perbelanjaan. Namun apakah pendidikan karakter ini bisa mengubah masalah-masalah yang sering kita hadapi dalam dunia pendidikan?

Didalam UU No.20/2003 tentang sistem pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan: “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, banga dan negara” Namun satu pertanyaan, sudahkah pendidikan kita seperti yang tercantum dalam UU tersebut.
Untuk kalangan pelajar sekolah menengah atas dan mahasiswa tidak asing lagi dengan kata makalah. pastilah anda sebagai pelajar atau mahasiswa sering sekali di berikan tugas membuat makalah. jadi saya akan coba berikan contoh makalah pendidikan bagi teman-teman sebagai panduan membuat makalah agar lebih mudah.


BAB III
                                               PENUTUP 
A.Kesimpulan
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Pengaruh pemikiran pertama dalam pendidikan adalah dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan kepada pelaksanaan pengajaran maka hal itu merupakan upaya di dalam mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka demi pencapaian tujuannya dan perlunya kemajuan sejati untuk diperoleh dalam perkembangan kodrati. Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang menjadi representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis sampai hari ini. Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II: Kebudayaan (1967).







           


Jumat, 17 Oktober 2014

RAGAM BAHASA



Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian , yang berbeda-beda menurut topik yang di bicarakan , menurut hubungan pembicara , kawan bicara , orang yang di bicarakan, serta menurut medium pembicara
Macam-macam ragam bahasa :
·         Ragam bahasa menurut media
Ragam bahasa media menurut media di bagi menjadi 2 :
1.      Ragam lisan : bahasa yang di hasilkan oleh alat ucap dengan media alat ucap ,ragam bahasa lisan ini ber urusan dengan lafal atau tata cara dalam berbicara , kita dapat menemukan ragam lisan yang standar , misal nya pada saat orang berpidato atau memberi sambutan, dalam situasi perkuliahan, ceramah. Dan ragam lisan yang non standar , misal nya dalam percakapan antar teman , di pasar atau dalam kesempatan non formal lain nya. Ciri-ciri ragam bahasa adalah:
a.       Perlu kehadiran laawan tutur.
b.      Unsur gramatikal tidak lengkap.
c.       Terikat ruang dan waktu
d.      Di pengaruhi pungtuasi,jeda,ritme suara.
2.      Ragam tulis : bahasa yang di hasilkan dengan memanfaat kan tulisan dengan huruf dengan media alat tulis dll , dan ragam bahasa tulis ini berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) , ragam tulis pun dapat berupa ragam tulis yang standar maupun non standar , ragam tulis standar dapat kita temukan di buku pelajaran ,majalah n surat kaba, poster ,iklan . Kita juga dapat menemukan yang non standar dalam majalah remaja ,iklan atau poster.Ciri-ciri ragam tulis adalah:
a.       Tidak perlu kehadiran lawan tutur
b.      Unsur gramatikal lengkap
c.       Tidak terikat rang dan waktu
d.      Di pengaruhi oleh tanda baca atau ejaan.
·         Ragam bahasa menurut situasi
Ragam bahasa baku dapat berupa:
1.      Ragam bahasa baku tulis , dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang di ucapkan nya tidak di tunjang oleh situasi pemakaian.
2.      Ragam bahasa baku lisan , dalam penggunaan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang di ungkapkan nya di tunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat.

Contoh ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis berdasarkan tata bahasa:
Ragam bahasa lisan:
Ø  Nia sedang baca surat kabar
Ø  Ari mau nulis sirat
Ragam bahasa tulis:
Ø  Nia sedang membaca surat kabar
Ø  Ari ingin menulis surat
Contoh ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis berdasarkan kosa kata:
Ragam bahasa lisan:
Ø  Ariani bilang kalau kita harus belajar
Ø  Kita harus bikin karya tulis
Ø  Raasanya masih terlalu pagi buat saya, Pak
Ragam bahasa tulis:
Ø  Ariani mengatakan bahwa kita harus belajar
Ø  Kita harus membuat karya tulis
Ø  Rasanya masih terlalu muda bagi saya, Pak
Istilah lain yang di gunakan selain ragam bahasa baku adalah ragam bahasa standar , semi standar , dan non standar perbedaan antara ragam standar m, non standar dan semi standar di lakukan berdasarkan:
Ø  Topik yang di bahas
Ø  Hubungan antarpembicara
Ø  Medium yang di gunakan
Ø  Lingkungan
Ø  Situasi saat pembicaraan terjadi
Ragam Ilmiah
Ilmiah itu merupakan kualitas dari tulisan yang membahas persoalan-persoalan dalam bahasa Indonesia bidang ilmu tertentu. Kualitas keilmuan itu didukung juga oleh pemakaian bahasa dalam ragam ilmiah. Jadi, ragam bahasa ilmiah itu mempunyai sumbangan yang tidak kecil terhadap kualitas tulisan ilmiah. Ragam ilmiah merupakan pemakaian bahasa yang mewadahi dan mencerminkan sifat keilmuan dari karya ilmiah. Sebagai wadah, ragam ilmiah harus menjadi ungkapan yang tepat bagi kerumitan (sofistifikasi) pemikiran dalam karya ilmiah. Dari pemakaian ragam itu juga bukan saja tercermin sikap ilmiah, melainkan juga kehati-hatian, kecendekiaan, kecermatan,  ke   bijaksanaan (wisdom), dan kecerdasan  dari penulisnya.
Bahasa Indonesia ragam ilmiah merupakan salah satu ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah. Sebagai bahasa yang digunakan untuk memaparkan fakta, konsep, prinsip, teori atau gabungan dari keempatnya, bahasa Indonesia diharapkan dapat menjadi media yang efektif untuk komunikasi ilmiah, baik secara tertulis maupun lisan.
Karakteristik Bahasa Indonesia Ragam Ilmiah
1.      mencerminkan sikap ilmiah
2.      transparan
3.      lugas
4.      menggunakan paparan (eksposisi) sebagai bentuk karangan yang utama
5.      membatasi pemakaian majas
6.      penulis menyebut diri sendiri sebagai orang ketiga
7.      sering menggunakan definisi, klasifikasi, dan analisis
8.      bahasanya ringkas tetapi padat
9.      menggunakan tata cara penulisan, dan format karya ilmiah secara konsisten (misalnya dalam merujuk sumber dan menyusun daftar pustaka)
10.  menggunakan bahasa Indonesia baku.
Sikap ilmiah yang harus tercermin dalam ragam ilmiah ialah sikap objektif, jujur, hati-hati, saksama, dan tidak ‘bombastis’. Ragam ilmiah bersifat cendekia (intelektual), artinya bahasa Indonesia ragam ilmiah itu dapat digunakan secara tepat untuk mengungkapkan hasil berpikir logis, yaitu mampu membentuk pernyataan yang tepat dan saksama.
Ragam ilmiah  bersifat transparan dalam arti kata-kata itu membawa pembaca langsung ke maknanya; kata-kata yang digunakan hendaknya tidak bermakna ganda (ambigu). Kata-kata yang dipilih hendaknya kata-kata yang denotatif bukan konotatif.
Bahasa ragam ilmiah bersifat lugas, dalam arti menggambarkan keadaan atau fakta sebagaimana  adanya. Ragam ilmiah tidak berbunga-bunga penuh ornamen seperti ragam bahasa sastra. Ragam ilmiah tidak berputar-putar dalam menuju ke satu tujuan, bahasa ragam ilmiah langsung menuju ke sasaran, langsung ke pokok masalah.
Bentuk karangan  utama yang digunakan dalam tulisan ilmiah ialah paparan atau eksposisi, dan dapat diselingi deskripsi,  argumentasi, narasi. Dalam tulisan ilmiah ada sesuatu yang perlu dideskripsikan, kadang diceritakan, atau beberapa definisi diperbandingkan dan dibahas secara lebih tepat. Seperti yang sudah disebutkan, dalam paparan banyak digunakan definisi, klasifikasi atau analisis.
Berbeda dengan tulisan ragam sastra, dalam ragam ilmiah pemakaian majas dibatasi. Majas itu sebenarnya juga menjelaskan, tetapi lebih mengacu pada imajinasi daripada realitas. Dalam ragam sastra, majas dapat menumbuhkan “keremang-remangan” suatu hal yang kadang memang diupayakan dalam karya sastra yang berbentuk puisi. Mengapa majas hanya dibatasi dan tidak disingkirkan? Karena dalam ragam bahasa ilmiah terdapat kata atau istilah yang sebenarnya semula berupa majas, misalnya mewatasi, melahirkan, membuahkan.
Dalam ragam ilmiah, penyebutan penulis bukan aku atau saya melainkan penulis atau dalam hal laporan hasil penelitian, peneliti, atau kalimat-kalimatnya menggunakan bentuk pasif, sehingga penyebutan penulis dapat dilesapkan.
Ragam bahasa ilmiah bersifat ringkas berpusat pada pokok permasalahan. Kalimat-kalimatnya harus hemat, tidak terdapat kata-kata yang mubazir. Namun kalimat-kalimatnya  harus lengkap, bukan penggalan kalimat.
Ragam bahasa ilmiah harus mengikuti tata tulis karya ilmiah yang standar. Misalnya penggunaan salah satu sistem penulisan rujukan atau catatan kaki  diterapkan secara konsisten, demikian pula dalam menyusun daftar pustaka.
Pemakaian bahasa dalam tulisan ilmiah termasuk pemakaian bahasa dalam situasi resmi. Pemilihan kata (diksi) harus memenuhi beberapa prinsip, yaitu ketepatan, kebakuan, keindonesiaan, dan kelaziman. Dalam prinsip ketepatan, kata yang dipilih secara tepat sesuai dengan yang dimaksudkan. Prinsip kebakuan menekankan pemakaian kata baku. Prinsip keindonesiaan menyarankan penggunaan kata-kata bahasa Indonesia. Prinsip kelaziman, menyarankan penggunaan kata-kata yang sudah umum.
Contoh ragam bahasa ilmiah

Mie instan yaitu mie yang telah dimasak terlebih dulu serta digabung dengan minyak, serta dapat disiapkan untuk dikonsumsi cuma dengan memberikan air panas serta bumbu - bumbu yang telah ada didalam paketnya.

Mie instan diciptakan oleh momofuku ando pada 1958, yang lantas membangun perusahaan nissin serta menghasilkan product mie instan pertama didunia chicken ramen ( ramen yaitu sejenis mie jepang ) rasa ayam. Momen mutlak yang lain berlangsung pada 1971 saat nissin memperkenalkan mie didalam gelas bermerek cup noodle. Kemasan mie yaitu wadah styrofoam tahan air yang dapat dipakai untuk memasak mie tersebut. Inovasi selanjutnya terhitung memberikan sayuran kering ke gelas, melengkapi hidangan mie tersebut. Menurut sesuatu survey di jepang pada th. 2000, mie instan yaitu ciptaan terbaik jepang abad ke-20, ( karaoke di urutan ke-2 serta cd cuma di urutan ketiga ). Sampai 2002, sekurang-kurangnya ada 55 juta porsi mie instan dikonsumsi tiap-tiap tahunnya di seluruh dunia.

Mie instan di indonesia pertama kali diperkenalkan oleh pt lima satu sankyu yang berdiri pada bln. April 1968. Pada 1977 perusahaan ini merubah namanya jadi pt lima satu sankyu indonesia yang lalu dirubah lagi jadi pt supermie indonesia sesuai dengan merk dagang utamanya supermie.
Mie instan adalah di antara makanan terfavorit warga indonesia. Dapat dipastikan nyaris tiap-tiap orang sudah mencicipi mie instan atau memiliki persediaan mie instan di tempat tinggal. Apalagi tidak jarang orang membawa mi instan waktu ke luar negeri sebagai persediaan makanan lokal bila makanan di luar negeri tidak sesuai selera.

Indomie yaitu merek mie instan yang sangat populer di indonesia - karena sangat terkenalnya, orang indonesia memanggil mi einstan dengan sebutan indomie meskipun yang dikonsumsi tidak bermerek indomie. Merk mie instan yang lain yang populer diantaranya yaitu supermi, sarimi, salam mie, mi abc, gaga mie, serta mie sedaap. Produsen yang mendominasi produksi mie instan di indonesia yaitu indofood sukses makmur yang menghasilkan indomie, supermi serta sarimi.

Sekarang ini, indonesia yaitu produsen mie instan terbesar didunia. Didalam perihal pemasaran, pada th. 2005 tiongkok menempati area paling atas, dengan 44, 3 milyar bungkus, disusul dengan indonesia dengan 12, 4 milyar bungkus serta jepang dengan 5, 4 milyar bungkus. Tetapi korea selatan konsumsi mie instan terbanyak per kapita, dengan rata-rata 69 bungkus per th., diikuti oleh indonesia dengan 55 bungkus, serta jepang dengan 42 bungkus.

Bila kita mengkonsumsi mie instant, tubuh membutuhkan dua hari untuk bersihkan lilin yang melapisi mie. Mengkonsumsi mie yang memiliki kandungan lilin terlebih dikemas didalam gabus mengakibatkan tubuh beresiko terkena kanker. Llilin bukan hanya saja melapisi gabus mie instant tersebut. Itu penyebab kenapa mie instant tidak lengket satu sama lain saat dimasak. Bila kita cermati mie yang berwarna kuning yang kerap dijual di pasar, mie tersebut dapat tampak layaknya berminyak. Susunan minyak ini dapat hindari mie lengket satu sama lain.

Disamping itu mie instant juga memiliki kandungan stirena, menurut instansi customer taiwan didalam laporan resminya yang diterbitkan pada september 1996, problem pencernaan makanan oleh stirena telah amat meluas. Dari 39 sampel mie instant yang di teliti, dua sample memiliki kandungan stirena melebihi angka seribu ppm, lima sample yang lain memiliki kandungan pada 700-1000 ppm, serta 32 sampel yang lain memiliki kandungan kandungan stirena 400-700 ppm. Menurut laporan tersebut, wabah gabus yang diisi mie instant dapat larut serta meresap jika air mendidih dituangkan kedalamnya. Laporan itu memberikan, pemakaian stirena dapat mengakibatkan rusaknya hati, ginjal dan degupan jantung jadi tidak teratur.

Stirena sudah diketahui sebagai di antara 200 bahan kimia beresiko menurut epa amerika yang punya potensi mengakibatkan kerusakan kesehatan manusia. Menurut kajian kajian who, wadah gabus dapat larut serta meresap kedalam makanan saat mengembang terkena panas.